PERKEMBANGAN ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM DI
INDONESIA
Di ajukan Sebagai Tugas Struktur :
Makul : Study Islam II
Pengampu : Abdul Karim,S.Ag
Disusun Oleh :
Dedi Santoso
PGSD4/2
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) ISLAM BUMIAYU
2011 / 2012
·
Keberagaman Pemikiran dan
Peta Konflik dalam Agama
Pemikiran
Islam dapat dilihat dengan dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris,
Aspek Isoteris adalah aspek yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui
oleh orang-orang tertentu, aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan
aspek eksoteris berarti bebas tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni.
Dalam dinamika Intelektual Islam, perbedaan pendangan dengan menggunakan kedua
aspek tersebut, seringkali menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap
pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah
mencatat, munculnya berbagai madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan
kelompok-kelompok dalam Islam, mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam,
baik dari masa klasik hingga modern.
Tulisan
ini mencoba mendeskripsikan dari karakter dari dinamika pemikiran Islam, dengan
fokus keberagaman pemikiran dalam sejarah pemikiran Islam semenjak masa klasik
sampai modern, selain itu tulisan ini mencoba mencermati pengaruh keragaman
tersebut pada dinamika pemikiran islam di Indonesia.
Islam di Madinah bisa
dikatakan awal dari pada bangunan dasar dari peradaban dunia. Berbeda dengan di
Mekkah yang lebih banyak berbicara tentang keberagamaan secara individu. Pada
fase ini, Islam banyak berbicara tentang kemasyarakatan. Kitab suci Islam juga
telah banyak menyinggung persoalan ini. Bahkan pada periode ini, Nabi Muhammad
telah menunjukan cara hidup yang tepat untuk zaman modern yang membutuhkan
kearifan untuk membaca realitas.
Dalam sejarah Islam sendiri
perbedaan yang ditandai dengan pendirian, mahzab, firqah, partai, dan kelompok
diawali pada masa kepemimpinan Ali. Digambarkan bahwa Ali tidak dapat memimpin
secara tenang karena negara pada saat itu berada dalam keadaan kacau, sebagai
imbas yang muncul akibat kematian Utsman. Para sahabat menuntut agar Ali yang
saat itu menjabat sebagai khalifah pengganti Utsman, mengusut tuntas kasus
tersebut. Ali merasa kesulitan untuk mengusut kasus tersebut. Karena
ketidakpuasan para sahabat seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, maka meletuslah
Perang Jamal. Ali berhasil memadamkan perlawanan itu. Akan tetapi pergolakan
masih terus mengalir. Kali ini dipimpin oleh Muawiyah. Muawiyah memiliki
tuntutan yang sama: usut pembunuhan Utsman. Tuntutan ini juga berakhir dengan
perang, yang disebut dengan Perang Shiffin. Perang Shiffin dengan segala
sesuatu yang terjadi dengannya, bisa dikatakan tonggak awal dari terbentuknya
firqah-firqah dalam Islam.
Pada
perang ini, perbedaan tafsiran mulai tampak dikalangan kaum muslim. Walau pada
mulanya beranjak pada perbedaan kebijakan politik, antara Ali dengan
kelompoknya dalam menghadapi tawaran Tahkim oleh kelompok Muawiyah. Ali
sebenarnya menolak, namun terus mendapat desakan dari para sahabat. Tahkim ini
dengan sendirinya melahirkan kekisruhan yang lebih nyata lagi, yaitu adanya
muslihat dari kelompok Muawiyah. Masalah lain yang juga timbul pada saat itu
adalah munculnya orang-orang yang berpikiran sempit dari kalangan Ali yang
tidak sepakat, dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Golongan ini dikenal sebagai
Khawarij.
Khawarij
ini memiliki karakter kaku, sempit, puritan dalam menafsirkan agama. Khawarij
berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah adalah salah, karena telah melakukan
pelanggaran terhadap ajaran agama yang esensi. Jadi, mereka mesti dibunuh,
itulah logika beragama yang dibangun. Dan sejarah mencatat, hanya Ali yang
terbunuh. Mulai saat itu, kepemimpinan beralih kepada Muawiyah dan diteruskan
oleh keturunannya. Bukan itu saja, kepemimpinan Islam yang demokratis beralih
menjadi kepemimpinan yang monarki. Kepemimpinan model ini terus bertahan sampai
berakhirnya kekhalifahan Islam di Turki, pada awal abad dua puluh.
Walau
berada dalam keadaan monarki. Islam semakin hari semakin berkembang. Pada era
Bani Umayah, Islam meluaskan ekspansinya ke daerah-daerah Timur Sedangkan pada
masa dinasti Abassiah adalah periode keemasan ilmu pengetahuan Dari kedokteran,
filsafat, hukum, kalam, mantiq, astronomi dan lain-lain. Walaupun begitu,
polarisasi dalam tubuh umat Islam masih ada, bahkan semakin kuat. Ini dibuktikan
dengan adanya firqah atau mahzab dalam Islam. Baik di bidang politik, kalam
(teologi), fiqh, filsafat maupun tasawuf.
Dalam bidang ilmu Kalam
(displin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya,
yang juga disebut sebagai Islamic Phylosophy) generasi pertama-pertama yang
muncul adalah kelompok Qadariah dan Jabbariah. Qadariah
adalah paham yang yang
meyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan mesti
bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sedangkan Jabbariah adalah bentuk
sebaliknya. Bagi Jabbariah, manusia adalah makhluk terpaksa, tidak bebas,
diatur oleh Tuhan. Tetapi diantara perbedaan kalam itu, yang paling menarik
untuk dicermati adalah antara Mu’tazilah dan Ahlul Sunnah atau juga disebut
dengan kaum al-Asya’ari.Seperti juga Qadariah, Mu’tazilah adalah kelompok kalam
yang menekankan rasionalisasi dan kebebasan kehedak manusia. Akan tetapi tesis
Mu’tazilah ini dibantah Ahlul Sunnah. Bagi Ahlul Sunnah manusia memang bebas
berkehendak. Tetapi yang menariknya, kehendak manusia ini ditentukan oleh
kehendak yang lebih kuat, yaitu kehendak Tuhan. Secara sepintas teologi ini
mencoba netral. Akan tetapi mereka lebih dekat kepada sikap fatalistik
(menyerah pada takdir atau nasib), seperti yang pernah dikampanyekan oleh Jabbariah.
Perbedaan
Kalam ini ternyata tidak saja pada tataran wacana, melainkan juga telah
merambah ke ranah politik. Salah satu tragedi kalam terbesar adalah ketika pada
masa Bani Abassiah tepatnya masa al-Ma’mun. Pada masa ini terjadi pemaksaan
untuk mengakui bahwa al-Quran adalah adalah makhluk. Bahkan seorang imam mahzab
terkenal, Imam Ahmad Ibnu Hambal menjadi korban dari kebijakan itu. Perbedaan
dalam fiqh juga ada. Bahkan lebih dinamis dari pada yang lain, tanpa
menyebabkan tragedi seperti diatas. Perbedaan fiqh hanya menimbulkan rasa
fanatik pada pengikut mahzab. Perbedaan fiqh ini sendiri terjadi karena
perbedaan tempat, waktu, budaya dan situasi, dimana hukum itu tumbuh.
Perbedaan dalam tradisi
Islam bisa bertahan dan terus dinamis, karena memang secara dogma baik dalam
al-Quran maupun sabda nabi, memberikan kebebasan umatnya untuk ber-ijtihad
(usaha sungguh-sungguh menggali kebenaran). Dan yang menariknya, Islam tidak
mengenal sistem kependetaan, yaitu sistem keagamaan yang memiliki otoritas
untuk menentukan kebenaran. Katakanlah lembaga fatwa, baik yang berada di Timur
Tengah maupun di Indonesia, tidak memiliki otoritas yang berlebih. MUI (Majelis
Ulama Indonesia) misalnya, kelompok ulama ini hanya berfungsi untuk untuk
memberi fatwa keagamaan di tengah masyarakat, mempererat ukhuwah Islamiyah,
mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama serta menjadi
penghubung dan penerjemah antara ulama, umara dan umat. Bahkan lembaga ini
hanya mampu mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak “berkelas”, karena hanya
berkutat pada masalah-masalah kecil.
Berbeda dengan Syi’ah,
unsur otoritasnya lebih kuat, akan tetapi tidak sama dengan pendeta. Dalam
Syi’ah ada lembaga Wilayatul Faqih. Konsep wilatul faqih didasarkan pada
prinsip Imamah. Wilayahtul faqih ini bertugas untuk membimbing umat baik dalam
masalah agama maupun sosial politik.
Bisa
dikatakan sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan untuk saat
ini, muslim Indonesia dikategorikan sebagai Muslim Santri. Yaitu muslim yang
tidak hanya percaya kepada Tuhan, tetapi juga menjalankan amal ibadah lainya.
Tidak lagi didominasi oleh muslim abangan seperti tahun lima puluhan dan enam
puluhan. Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebagai surga bagi kaum muslim.
Sebab di sini, setiap muslim bebas menyerukan keyakinannya, tanpa perlu takut.
Bahkan kelompok Islam radikal yang dilarang di luar negeri, dapat hidup nyaman
disini. Iklim ini terbangun selain karena karakter dasar bangsa ini yang
memiliki jiwa egaletarian dan inklusif, juga sejarah masuknya Islam ke
Indonesia juga dengan cara-cara elegan dan akulturatif, yang secara serta merta
telah memberikan rekaman memori yang kuat untuk bersikap demikian. Sejarah ini
tentunya sangat mempengaruhi perkembangan Islam di negeri ini.
Dinamika
Islam Indonesia menarik untuk diamati. Sebab dalam sejarahnya, Islam Indonesia
menawarkan kejutan-kejutan yang terkadang tidak pernah dibayangkan. Bertikai
dalam fiqh, tetapi saling membantu dalam politik. Merangkul rezim berkuasa
disaat kelompok Islam lainnya disingkirkan.
Walaupun Islam di Indonesia
di wakili oleh banyak wajah Islam, seperti beragamnya organisasi keagamaan,
aliran-aliran, Islam gerakan maupun Mahzab Tariqah. Akan tetapi untuk menangkap
Islam Indonesia, ternyata harus melihat NU-Muhammadiah sebagai kaca mata utama.
Mengabaikan dua kelompok besar ini, sama saja dengan mengabaikan perkembangan
Islam di indonesia. NU-Muhammadiah telah banyak memberikan sumbangan besar bagi
perjalanan bangsanya.
NU-Muhammadiah
selalu saja mengisi setiap fase narasi sejarah bangsa ini. Walau awal keduanya
muncul sebagai “lawan”, karena berbeda dalam fiqh dan cara mengakulturasikan
budaya. Akan tetapi dua kelompok ini pada fase-fase berikutnya telah mampu
bekerjasama dalam hal-hal besar yang mendahulukan kemashalatan umat. Seperti kampanye
anti korupsi, menolak segala bentuk teror, menolak radikalisme beragama dan
menampilkan Islam yang lebih inklusif, toleran dan mendukung demokrasi. Tidak
relevan lagi memotret NU-Muhammadiah sekarang dengan kacamata parokial (baca:
sempit, sepert fiqh ibadah), atau dikotomi Islam Modernis-Tradisionalis.
NU-Muhammadiah harus ditatap dengan paradigma kemoderenan yang disertai
prinsip-prinsip demokrasi. Ini penting ditengah rendahnya toleransi dalam
meyakini kebenaran, dan semakin menguatnya arus radikalisasi agama yang
bersifat destruktif.
Sejarah
pemikiran Islam berjalan secara dinamis, keberagaman dalam tubuh umat Islam
yang berbuah kepada lahirnya firqah, partai, organisasi, mahzab pemikiran
adalah sunnatullah belaka. Meyikapi kemajemukan ini juga mesti arif dan bijak.
Yaitu dengan mengembalikan permasalahan ini kepada pangkal masalah penyebab
keberagaman dalam tubuh umat Islam. Islam mengajarkan titik tolak yang luar
biasa kepada umatnya untuk melihat keberagaman ini dengan kaca mata positif.
Bahwa Tuhan memang menciptakan manusia dalam wujud yang berbeda, dengan harapan
antar manusia ini saling berkenalan, saling mengisi dan bekerjasama.
·
Sejarah Singkat munculnya Aliran
Pemikiran dalam Islam
Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kat”. Kaum teolog Islam berdebat dengan
kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog
disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam
juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas
ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang
keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan.
·
Munculnya perbedaan antara umat Islam
Perbedaan
yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang
politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu,
meningkat menjadi persoalan teologi.Pada masa nabi Muhammad berada di Madinah
dengan status sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan, umat Islam
bersatu di bawah satu kekuasaan politik. Setelah beliau wafat maka muncullah
perselisihan pertama dalam Islam yaitu masalah kepemimpinan. Abu Bakar kemudian
terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah nabi Muhammad diikuti oleh Umar
pada periode berikutnya. Pada masa pemerintahan Usman pertikaian sesama umat
Islam berikutnya terjadi ya pada pembunuhan Usman bin Affan, khalifah ketiga.
Pembunuhan
Usman berakibat perseteruan antara Muawiyah dan Ali, dimana yang pertama
menuduh yang kedua sebagai otak pembunuhan Usman. Ali diangkat menjadi khalifah
keempat oleh masyarakat Islam di Madinah. Pertikaian keduanya juga
memperebutkan posisi kepemimpinan umat Islam setelah Muawiyah menolak
diturunkan dari jabatannya sebagai gubernur Syria. Konflik Ali-Muawiyah adalah
starting point dari konflik politik besar yang membagi-bagi umat ke dalam
kelompok-kelompok aliran pemikiran.
Sikap
Ali yang menerima tawaran arbitrase (perundingan) dari Mu’awiyah dalam perang
Siffin tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya yang pada akhirnya menarik
dukungannya dan berbalik memusuhi Ali. Kelompok ini kemudian disebut dengan
Khawarij ( orang-orang yang keluar ). Dengan semboyan La Hukma Illa lillah
(tidak ada hukum selain hukum Allah) mereka menganggap keputusan tidak bisa
diperoleh melalui arbitrase melainkan dari Allah. Mereka mencap orang-orang
yang terlibat arbitrase sebagai kafir karena telah melakukan “dosa besar”
sehingga layak dibunuh.
·
Aliran-aliran teologi Islam
Persoalan
“dosa besar” ini sangat berpengaruh dalam perkembangan aliran pemikiran karena
ini masalah krusial yang menyangkut dengan apakah seseorang bisa menjadi kafir
karena berbuat dosa besar dan kemudian halal darahnya. Aliran Khawarij
mengatakan bahwa pendosa besar adalah kafir maka wajib dibunuh. Paham Khawarij
ini memicu munculnya paham yang berseberangan yang mengatakan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun dosanya terpulang
kepada Allah untuk mengampuninya atau tidak. Paham ini dilontarkan oleh aliran
Murji’ah. Sementara aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa orang yang melakukan
dosa besar tidak menjadi kafir tapi juga tidak bisa disebut mukmin. Mereka
berada pada posisi antara keduanya yang dikenal dengan istilah al-manzilah
baina al-manzilatain.
Dalam
hal apakah orang mempunyai kemerdekaan atau tidak dalam berbuat ada dua aliran
yang saling bertentangan. Al-Qadariah mengatakan manusia merdeka dalam
berkehendak dan berbuat, sebaliknya Jabariah menolak free will dan free act.
Menurut Jabariah manusia bertindak dengan kehendak dan paksaan Tuhan. Segala
gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham ini disebut sebagai fatalisme.
Dalam masalah ini aliran yang sepaham dengan Qadariah adalah aliran Mu’tazilah
yang juga mengatakan bahwa manusia bebas berkehendak dan melakukan sesuatu
sehingga manusia diminta pertangungjawaban atas perbuatannya. Sementara Abul
Hasan al-Asy’ari (935 M) seorang pengikut Mu’tazilah yang keluar dari
Mu’tazilah dan mendirikan aliran baru yang disebut dengan Asy’ariah memilih
posisi lebih dekat ke Jabariah.Menurutnya seluruh perbuatan manusia adalah atas
kehendak Allah hanya saja manusia, menurutnya, bisa berikhtiar. Selain
Asy’ariah, Tahwiah dan Maturidiah juga menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Asy’ariyah
dan Maturidiah yang didirikan oleh Abu Mansur Al-Maturidi disebut juga dengan
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Mencermati
perkembangan keberagamaan khususnya yang menyangkut umat Islam sepanjang
sepuluh tahun terakhir (sejak era reformasi), paling tidak ada beberapa hal
yang penting untuk kita perhatikan secara serius. Fenomen Pertama, menguatnya
arus pemikiran tepatnya gerakan Islam Radikal. Ada tiga kecenderungan Islam
Radikal.Mencermati perkembangan keberagamaan khususnya yang menyangkut umat
Islam sepanjang sepuluh tahun terakhir (sejak era reformasi), paling tidak ada
beberapa hal yang penting untuk kita perhatikan secara serius. Fenomen Pertama,
menguatnya arus pemikiran tepatnya gerakan Islam Radikal.
·
Ada
tiga kecenderungan islam Radikal
1).
Radikalisasi merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung.
Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi dan penolakan atau bahkan
perlawanan terhadap apa saja yang mereka anggap bertentangan dengan ajaran
islam.
2).
Radikalisasi tidak behenti pada upaya penolakan, namun terus berupaya mengganti
tatanan tersebut dengan satu bentuk tatanan yang lain. Dalam hal ini system
Islam. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisasi terkandung suatu
program atau pandangan dunia (world view) tersendiri.
3). Kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program dan idiologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penolakan sistem lain. Keyakinan akan idiologi yang diusung membuat kaum radikal sulit untuk menerima pemikiran orang lain. Mereka cenderung menjadi kelompok yang anti dialog.Adapun ciri-ciri kaum radikal adalah; Pertama, mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalistik). Syari’at Islam sebagai dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik. Mereka sama sekali tidak percaya bahwa system yang berlaku sekarang ini di Indonesia merupakan yang terbaik dan dapat menyelesaikan multi krisis bangsa. Kedua, mereke mendasarkan praktik keagamaannya pada masa lalu (salafy). Ketiga, mereka sangat membenci Barat dengan segala produk peradabannya seperti sekularisasi dan modernisasi. Keempat, perlawannya dengan liberalisme yang telah berkembang di Indonesia. (Khamami Zadi: 2001).
Fenomena kedua adalah, munculnya aliranaliran sesat dengan berbagai karakteristiknya. Di antara yang cukup fenomenal adalah kemunculan Al-Qiyadah al-Islamiah dengan Ahmad Mushaddeq sebagai Nabi. Mushaddeq sendiri pada mulanya adalah seorang pensiunan PNS Pemda DKI Jakarta dan pengurus Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI). Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di Gunung Bunder Bogor Jawa Barat, Mushaddeq mengaku ditunjuk Allah SWT sebagai almasih almau’ud. Ia mengaku telah menerima wahyu sebagai tanda dari kerasulannya. Ditinjau dari sisi sejarah, fenomena aliran sesat sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban Islam. Hanya saja kemunculan aliran sesat pada masa lalu tidak disikapi secara massif dan hanya sedikit –kalaupun ada- menimbulkan aksi kekerasan. Masalahnya adalah apa yang terjadi pada masa lalu, sekarang ini terulang kembali. Bagaikan cendawan di musim hujan, di Indonesia banyak muncul aliran-aliran sesat dan aliran yang dituduhkan sesat. Lalu di mana bedanya. Jika pada masa lalu sifatnya personal dan dalam tingkat tertentu bercorak intelektualistik, pada saat ini bentuknya tidak lagi bersifat personal melainkan sudah menjelma menjadi gerakan massal. Maksudnya, aliran-aliran sesat itu telah membentuk satu komunitas yang solid. Mereka juga memiliki pengikut yang cukup banyak. Jika pada masa lalu, gerakan aliran sesat kerap dilakukan di bawah tanah, sekarang aliran sesat berani tampil ke tenga-tengah publik dengan menunjukkan eksistensinya.
Keadaannya semakin parah, karena masyarakat (baca kelompok Islam tertentu) begitu mudah terpancing (terprovokasi) untuk memberikan reaksi dan aksi. Bahkan tidak itu saja, masyarakat juga secara membabibuta kerap melakukan kekerasan dan penghancuran. Ahmadiyah agaknya salah satu aliran yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia. Mereka merupakan komunitas yang sering menerima perlakuan kekerasan dari kelompok tertentu.Sungguh, Saya tidak bisa memahami, bagaimana sebuah keyakinan –betapapun berbedanya dengan main stream Islam Indonesia- harus dilawan dengan aksi fisik. Bagi saya, keyakinan yang berangkat dari sebuah pemahaman akan teks suci adalah sesuatu yang bersifat intelektualistik. Maka melawannya juga mesti melalui pendekatan intlektualistik. Bukan dengan aksi massa apa lagi dengan kekerasan. Bukankah salah satu metode dakwah Al-Qur’an adalah wa jadilhum billati hai ahsan (dialog, debat, munazharah). Kecuali jika Jama’ah Ahmadiyah menutup pintu dialog rapat-rapat. Namun kesan saya, Ahamdiyah bukan anti dialog. Hanya saja yang sering dilupakan dalam sebuah dialog atau debat adalah konsekuensinya. Menurut penulis, dalam dialog terlebih yang menyangkut keyakinan, apabila argumentasi yang dibangun telah diruntuhkan berdasarkan perangkat keilmuan yang telah ijmak ulama atasnya, maka kempok yang kalah harus rela mengakui dan mengikuti pendapat yang benar.
Terus terang saya sulit menjawab pertanyaan ini. Andaikan terjadi dialog yang fair dan argumentasi Ahmadiyah runtuh, apakah mereka bersedia mengikuti keyakinan baru. Sebaliknya jika argumentasi Ahmadiyah tidak terbantahkan, bisakah kita menerima mereka hidup di Indonesia sebagai bagian dari Islam yang sah. Ketiga, Fenomena Islam Liberal yang kerap kali menjadi “sasaran tembak” kelompok Islam radikal dan fundamental. Belum sempat Islam Liberal menjelaskan dirinya dan posisinya dalam konstalasi pemikiran Islam Indonesia, mereka langsung distigmatisasi sebagai Islam yang salah. Nyaris tidak ada dialog yang terbangun dengan santun. Yang ada hanya kebencian dan kemarahan.
Pada hal ketika dilekatkan kata liberal pada Islam, para eksponen Islam Liberal hanya ingin menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah niat atau dorongan-dorongan emotif –subyektif dalam diri manusia itu sendiri. Kata liberal pada Islam liberal sebenarnya tidak ada sangkutpautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap permisif yang melawan kecenderungan “instrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, sama artinya kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam.
Alih-alih gagasan Islam Liberal dapat dipahami dengan baik, yang terjadi sebaliknya. Pemikiran Islam Liberal langsung diharamkan dan sangat berpotensi untuk disesatkan. Akibatnya, walaupun eksponen Islam Liberal menjelaskan argumentasinya dalam memahami Islam, mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis dan komentar ulama klasik sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-kitab kuning (klasik), mereka terlanjur mendapatkan stigma negatif. Kendati demikian, bukan berarti Islam liberal tidak memiliki masalah serius. Islam liberal dalam tingkat tertentu cenderung provokatif. Di samping itu, sebagaimana kritik yang sering diajukan sebagian pakar, Islam Liberal belum memiliki metode berfikir yang sistematik dan kokoh secara metodelogis.
3). Kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program dan idiologi yang mereka bawa. Sikap ini pada saat yang sama dibarengi dengan penolakan sistem lain. Keyakinan akan idiologi yang diusung membuat kaum radikal sulit untuk menerima pemikiran orang lain. Mereka cenderung menjadi kelompok yang anti dialog.Adapun ciri-ciri kaum radikal adalah; Pertama, mereka memperjuangkan Islam secara kaffah (totalistik). Syari’at Islam sebagai dasar negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik. Mereka sama sekali tidak percaya bahwa system yang berlaku sekarang ini di Indonesia merupakan yang terbaik dan dapat menyelesaikan multi krisis bangsa. Kedua, mereke mendasarkan praktik keagamaannya pada masa lalu (salafy). Ketiga, mereka sangat membenci Barat dengan segala produk peradabannya seperti sekularisasi dan modernisasi. Keempat, perlawannya dengan liberalisme yang telah berkembang di Indonesia. (Khamami Zadi: 2001).
Fenomena kedua adalah, munculnya aliranaliran sesat dengan berbagai karakteristiknya. Di antara yang cukup fenomenal adalah kemunculan Al-Qiyadah al-Islamiah dengan Ahmad Mushaddeq sebagai Nabi. Mushaddeq sendiri pada mulanya adalah seorang pensiunan PNS Pemda DKI Jakarta dan pengurus Persatuan Bulu Tangkis Indonesia (PBSI). Setelah bertapa selama 40 hari 40 malam di Gunung Bunder Bogor Jawa Barat, Mushaddeq mengaku ditunjuk Allah SWT sebagai almasih almau’ud. Ia mengaku telah menerima wahyu sebagai tanda dari kerasulannya. Ditinjau dari sisi sejarah, fenomena aliran sesat sebenarnya bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban Islam. Hanya saja kemunculan aliran sesat pada masa lalu tidak disikapi secara massif dan hanya sedikit –kalaupun ada- menimbulkan aksi kekerasan. Masalahnya adalah apa yang terjadi pada masa lalu, sekarang ini terulang kembali. Bagaikan cendawan di musim hujan, di Indonesia banyak muncul aliran-aliran sesat dan aliran yang dituduhkan sesat. Lalu di mana bedanya. Jika pada masa lalu sifatnya personal dan dalam tingkat tertentu bercorak intelektualistik, pada saat ini bentuknya tidak lagi bersifat personal melainkan sudah menjelma menjadi gerakan massal. Maksudnya, aliran-aliran sesat itu telah membentuk satu komunitas yang solid. Mereka juga memiliki pengikut yang cukup banyak. Jika pada masa lalu, gerakan aliran sesat kerap dilakukan di bawah tanah, sekarang aliran sesat berani tampil ke tenga-tengah publik dengan menunjukkan eksistensinya.
Keadaannya semakin parah, karena masyarakat (baca kelompok Islam tertentu) begitu mudah terpancing (terprovokasi) untuk memberikan reaksi dan aksi. Bahkan tidak itu saja, masyarakat juga secara membabibuta kerap melakukan kekerasan dan penghancuran. Ahmadiyah agaknya salah satu aliran yang akhir-akhir ini menjadi sorotan dunia. Mereka merupakan komunitas yang sering menerima perlakuan kekerasan dari kelompok tertentu.Sungguh, Saya tidak bisa memahami, bagaimana sebuah keyakinan –betapapun berbedanya dengan main stream Islam Indonesia- harus dilawan dengan aksi fisik. Bagi saya, keyakinan yang berangkat dari sebuah pemahaman akan teks suci adalah sesuatu yang bersifat intelektualistik. Maka melawannya juga mesti melalui pendekatan intlektualistik. Bukan dengan aksi massa apa lagi dengan kekerasan. Bukankah salah satu metode dakwah Al-Qur’an adalah wa jadilhum billati hai ahsan (dialog, debat, munazharah). Kecuali jika Jama’ah Ahmadiyah menutup pintu dialog rapat-rapat. Namun kesan saya, Ahamdiyah bukan anti dialog. Hanya saja yang sering dilupakan dalam sebuah dialog atau debat adalah konsekuensinya. Menurut penulis, dalam dialog terlebih yang menyangkut keyakinan, apabila argumentasi yang dibangun telah diruntuhkan berdasarkan perangkat keilmuan yang telah ijmak ulama atasnya, maka kempok yang kalah harus rela mengakui dan mengikuti pendapat yang benar.
Terus terang saya sulit menjawab pertanyaan ini. Andaikan terjadi dialog yang fair dan argumentasi Ahmadiyah runtuh, apakah mereka bersedia mengikuti keyakinan baru. Sebaliknya jika argumentasi Ahmadiyah tidak terbantahkan, bisakah kita menerima mereka hidup di Indonesia sebagai bagian dari Islam yang sah. Ketiga, Fenomena Islam Liberal yang kerap kali menjadi “sasaran tembak” kelompok Islam radikal dan fundamental. Belum sempat Islam Liberal menjelaskan dirinya dan posisinya dalam konstalasi pemikiran Islam Indonesia, mereka langsung distigmatisasi sebagai Islam yang salah. Nyaris tidak ada dialog yang terbangun dengan santun. Yang ada hanya kebencian dan kemarahan.
Pada hal ketika dilekatkan kata liberal pada Islam, para eksponen Islam Liberal hanya ingin menegaskan kembali dimensi kebebasan dalam Islam yang jangkarnya adalah niat atau dorongan-dorongan emotif –subyektif dalam diri manusia itu sendiri. Kata liberal pada Islam liberal sebenarnya tidak ada sangkutpautnya dengan kebebasan tanpa batas, dengan sikap permisif yang melawan kecenderungan “instrinsik” dalam akal manusia itu sendiri. Dengan menekankan kembali dimensi kebebasan manusia dan menempatkan manusia pada fokus penghayatan keagamaan, sama artinya kita telah memulihkan kembali integritas wahyu dan Islam.
Alih-alih gagasan Islam Liberal dapat dipahami dengan baik, yang terjadi sebaliknya. Pemikiran Islam Liberal langsung diharamkan dan sangat berpotensi untuk disesatkan. Akibatnya, walaupun eksponen Islam Liberal menjelaskan argumentasinya dalam memahami Islam, mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, Hadis dan komentar ulama klasik sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-kitab kuning (klasik), mereka terlanjur mendapatkan stigma negatif. Kendati demikian, bukan berarti Islam liberal tidak memiliki masalah serius. Islam liberal dalam tingkat tertentu cenderung provokatif. Di samping itu, sebagaimana kritik yang sering diajukan sebagian pakar, Islam Liberal belum memiliki metode berfikir yang sistematik dan kokoh secara metodelogis.
Keempat,
tumbuhnya pemikir-pemikir muda Islam yang lebih progresif dan dinamis. Fenomena
ini dapat dilihat pada anak-anak muda NU yang tergabung dalam LAKSPEDAM dan
jurnal Tashwir al-afkarnya. Demikian juga dengan anak-anak muda Muhammadiyah
yang tergabung pada berbagai lembaga seperti JIMM (Jaringan Intelektual Muda
Muhammadiyah). Dan fenomena terakhir adalah munculnya sarjana-sarjana baru yang
lahir dari rahim ISTAQ-IIUM Malaysia. Dengan Jurnal Islamia , mereka telah
turut mewarnai dinamika pemikiran Islam Indonesia dengan warna tersendiri yang
khas. Kesan penulis mereka sangat berbeda dengan anak-anak JIL dan anak-anak NU
atau Muhammadiyah.
Keempat
fenomena yang telah diuraikan di muka sangat layak untuk dicermati.
Diperkirakan beberapa tahun mendatang, belantika pemikiran Islam Indonesia akan
diwarnai oleh kelompok-kelompok di atas. Manakah yang akan mendominasi, agaknya
diperlukan sebuah kajian yang lebih dalam dan serius. Di atas semua itu satu
hal yang tidak terduga, kehadiran reformasi, ternyata bermaknalonceng kematian
bagi Islam moderat (Islam kultural) yang menjadi karakter autentik Islam
Indonesia. Mampukah anak-anak muda NU, Muhammadiyah dan juga anak-anak HMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar