PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan sesungguhnya adalah transformasi budaya,
sehingga persoalan budaya dan karakter bangsa yang kurang baik akan menjadi
sorotan tajam masyarakat terhadap pelaksanaan pendidikan di setiap satuan
pendidikan. Sorotan itu mengenai berbagai aspek kehidupan, tertuang dalam
berbagai tulisan di media cetak, wawancara, dialog, dan gelar wicara di media
elektronik. Selain di media masa, para pemuka masyarakat, para ahli, dan para
pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya
dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal,
nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti
korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan
ekonomi yang konsumtif, kehidupn politik yang tidak produktif, dan sebagainya
menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai
kesempatan. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti peraturan,
undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih
kuat.
Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk
mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang
dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang
bersifat preventif karena pendidikan membangun generasi baru bangsa yang
lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan
dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang
dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter
bangsa, mengapa tidak karena pendidikan sesungguhnya adalah transformasi
budaya. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya
dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat
di masyarakat dalam waktu yang relatif lama sehingga membangun pendidikan
sesungguhnya investasi jangka panjang.
Kurikulum
adalah jantungnya pendidikan (curriculum is the heart of education).
Oleh karena itu, sudah seharusnya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP),
saat ini, memberikan perhatian yang lebih besar pada pendidikan budaya dan
karakter bangsa dibandingkan kurikulum masa sebelumnya, perjalanan kurikulum di
Indonesia dari tahun 1947 sampai dengan tahun 2004 (sebelum KTSP) adalah:
- pada tahun 1947
- Perubahan kisi-kisi pendidikan
dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional
- Asas Pendidikan ditetapkan:
Panca Sila
- Baru dilaksanakan di
sekolah-sekolah tahun 1950
- Memuat dua hal pokok: 1. Daftar
mata pelajaran; 2. garis-garis pengajaran
- Mengurangi pendidikan pikiran,
mengutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
mteri pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian thd
kesenian dan pendidikan jasmani.
2.
Tahun 1952
- Lebih merinci setiap mata
pelajaran
- Silabus lebih jelas, satu guru
mengajar satu mapel
3.
Tahun 1954 (kurikulum gaya lama):
- Tujuan Pembelajaran tidak
dinyatakan secara jelas
4.
Tahun 1962 (kurikulum gaya baru)
- Mempercepat pembangunan
nasional
- Membangun hubungan dengan
bangsa-bangsa lain
- Menjalankan kebijakan luar
negeri negara
5. Tahun 1964
- Fokus pada pengembangan daya,
cipta, rasa, karsa, dan moral (pancawardhana)
- Mata pelajaran dikelompokkan
menjadi 5 kelompok bidang studi: 1. moral; 2. kecerdasan; 3.
emosional/artistik; 4. keprigelan (ketrampilan); 5. jasmaniah
- Pendidikan dasar lebih
menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis
6. Tahun 1968
- Merupakan revisi Kurikulum
1964, yg dicitrakan sebgai produk orde lama
- Tujuan: membentuk manusia Panca
Sila seutuhnya.
- Menekankan pendekatan
organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Panca Sila, Pengetahuan
Dasar, dan Kecakapan Khusus
- Jumlah mata pelajaran : 9.
- Muatan materi bersifat teoritis,
tdk mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan
- Titik berat: materi apa saja yg
tepat diberikan kepada siswa di tiap jenjang pendidikan
7. Tahun 1975
- Menekankan pada tujuan, agar
pendidikan lebih efisien dan efektif
- Dipengaruhi oleh konsep di
bidang manajemen, yaitu MBO (Management by Objective)
- Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)
- Lahir istilah Satpel (Satuan
pelajaran), yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan
- Setiap satpel dirinci lagi:
Tujuan Instruksional Umum, Tujuan Instruksional Khusus, Materi Pelajaran,
Alat pelajaran, Kegiatan Belajar-Mengajar, dan Evaluasi
- Banyak dikritik karena guru
banyak dibuat sibuk menulis rincian dari setiap kegiatan pembelajaran
8.
Tahun 1984
- Mengusung process skill
approach (pendekatan ketrampilan proses), dg tetap menganggap penting
faktor tujuan
- Sering juga disebut ‘Kurikulum
1975 yg disempurnakan’
- Siswa diposisikan sebagai
subyek belajar (mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga
melaporkan).
- Model pembelajaran ini disebut
CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), atau SAL (Student Active Learning).
- Tokoh penting dibalik lahirnya
Kur. 1984 adalah Prof. Conny R. Semiawan (Kepala Puskur1980-1986), juga
Rektor IKIP Jakarta (1984-1992).
- Konsep CBSA yg bagus secara
teori dan bagus hasilnya ketika di sekolah-sekolah yg dujicobakan,
mengalami banyak deviasi dan reduksi saat dilaksanakan secara nasional.
- Yang menonjol hanyalah
kegaduhan waktu diskusi, dan di sana-sini ada tempelan gambar-gambar ,
guru tak lagi mengajar model ceramah.
- Banyak bermunculan penolakan
thd CBSA
9. Tahun 1994 Suplemen tahun 1999
- Merupakan upaya memadukan
kurikulum-kurikulum sebelumnya (Kur. 1975 & Kur. 1984), yaitu
pendekatan tujuan dan proses.
- Banyak mendapatkan kritik
karena beban belajar siswa terlalu berat, dari muatan nasional sampai
muatan lokal.
- Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum.
- Menjelma menjadi kurikulum
super padat
- Diterbitkan Suplemen Kurikulum
1999, berisi pengaturan pada materi yg di Kur. 1994 diserahkan
pengurutannya kepada para guru
10.
Tahun 2004
- Juga dikenal dengan KBK
(kurikulum Berbasis Kompetensi).
- Setiap pelajaran diurai
berdasar kompetensi apa yg mesti dicapai.
- Muncul kerancuan bila dikaitkan
dengan alat ukur kompetensi siswa, yaitu ujian!, baik yg berupa ujian
nasional maupun ujian akhir sekolah dengan soal pilihan ganda.
- Mestinya lebih banyak pada
praktek dan soal uraian terbuka untuk mengukur tingkat kompetensi siswa.
- Banyak guru juga belum memahami
esensi dari KBK
- Sampai akhirnya diganti,
Kurikulum 2004 masih dalam taraf uji coba
11.
KTSP
- Ditinjau dari segi isi dan
proses pencapaian taget kompetensi pelajaran oleh siswa dan teknis
penilaiannya tidaklah (banyak) berbeda dengan Kurikulum 2004.
- Perbedaan dengan Kurikulum 2004
yg paling tampak ialah bahwa guru lebih diberikan kebebasan utk
merencanakan pembelajaran sesuai dg kondisi siswa serta kondisi sekolah
berada.
- Pemerintah- dalam hal ini
Depdiknas, hanya menetapkan kerangka dasar, Standar Kompetensi Lulusan,
Standar Kompetensi & Kompetensi Dasar tiap mata pelajaran.
- Selebihnya, (indikator, materi,
maupun penilaiannya) diserahkan kepada para guru & satuan pendidikan
di bawah koordinasi dan supervisi pemerintah kab./kota.
Uraian di atas menunjukkan bahwa penyusunan KTSP
sebagai landasan pengelolaan pembelajaran pada satuan pendidikan yang dapat
merespon pendidikan sebagai transformasi budaya yang pada akhirnya menghasilkan
luaran pendidikan yang beriptek dan berimtaq dapat tewujud dengan cataan sumber
daya manusia pengelolah satuan pendidikan memiliki kualitas yang memadai.
Pengawas sekolah yang merupakan Jabatan fungsional
Pengawas Sekolah adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup tugas,
tanggung jawab dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan pengawasan akademik dan
manajerial pada satuan pendidikan (Permenpan dan RB no. 21 Th 2010). Oleh sebab
itu maka pengawas sekolah memegang peran yang stragis untuk membantu satuan
pendidikan dalam pengelolaan untuk mewujudkan luaran satuan pendidikan yang
berkarakter. Olehyang itu bagaimana implementasi pendidikan karatek bangsa
kedalam KTSP
B. Pengertian Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan
di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai
kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan
pendidikan. Oleh karena itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar
dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Untuk mendapatkan wawasan mengenai arti pendidikan
budaya dan karakter bangsa perlu dikemukakan pengertian istilah budaya,
karakter bangsa, dan pendidikan. Pengertian yang dikemukakan di sini
dikemukakan secara teknis dan digunakan dalam mengembangkan pedoman ini.
Guru-guru Antropologi, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain,
yang istilah-istilah itu menjadi pokok bahasan dalam mata pelajaran terkait,
tetap memiliki kebebasan sepenuhnya membahas dan berargumentasi mengenai
istilah-istilah tersebut secara akademik.
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan
masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah
hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Sistem
berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan dalam kehidupan
manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kepercayaan,
sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk
sosial menjadi penghasil sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan;
akan tetapi juga dalam interaksi dengan sesama manusia dan alam kehidupan,
manusia diatur oleh sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan yang
telah dihasilkannya. Ketika kehidupan manusia terus berkembang, maka yang
berkembang sesungguhnya adalah sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, ilmu, teknologi, serta seni. Pendidikan merupakan upaya terencana
dalam mengembangkan potensi peserta didik, sehingga mereka memiliki sistem
berpikir, nilai, moral, dan keyakinan yang diwariskan masyarakatnya dan
mengembangkan warisan tersebut ke arah yang sesuai untuk kehidupan masa kini
dan masa mendatang.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk
cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas
sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat
dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain
menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu,
pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan
karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan
sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya
dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang berangkutan. Artinya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu
proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan
sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. Lingkungan sosial dan budaya
bangsa adalah Pancasila; jadi pendidikan budaya dan karakter bangsa haruslah
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Dengan kata lain, mendidik budaya dan
karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik
melalui pendidikan hati, otak, dan fisik.
Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan
sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Pendidikan adalah juga
suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi mudanya bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Keberlangsungan itu ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah
dimiliki masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, pendidikan adalah proses
pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses
pengembangan budaya dan karakter bangsa untuk peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan bangsa di masa mendatang. Dalam proses pendidikan budaya dan
karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya,
melakukan proses internalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian
mereka dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang
lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan
budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa
di masa mendatang. Pengembangan itu harus dilakukan melalui perencanaan yang
baik, pendekatan yang sesuai, dan metode belajar serta pembelajaran yang
efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa
adalah usaha bersama sekolah; oleh karenanya harus dilakukan secara bersama
oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.
C. Landasan Pedagogis Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa
Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh
dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan
budayanya, karena peserta didik hidup tak terpishkan dalam lingkungannya dan
bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya. Pendidikan yang tidak
dilandasi oleh prinsip itu akan menyebabkan peserta didik tercerabut dari akar
budayanya. Ketika hal ini terjadi, maka mereka tidak akan mengenal budayanya
dengan baik sehingga ia menjadi orang “asing” dalam lingkungan budayanya.
Selain menjadi orang asing, yang lebih mengkhawatirkan adalah dia menjadi orang
yang tidak menyukai budayanya.
Budaya, yang menyebabkan peserta didik tumbuh dan
berkembang, dimulai dari budaya di lingkungan terdekat (kampung, RT, RW, desa)
berkembang ke lingkungan yang lebih luas yaitu budaya nasional bangsa dan
budaya universal yang dianut oleh ummat manusia. Apabila peserta didik menjadi
asing dari budaya terdekat maka dia tidak mengenal dengan baik budaya bangsa
dan dia tidak mengenal dirinya sebagai anggota budaya bangsa. Dalam situasi
demikian, dia sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar dan bahkan cenderung
untuk menerima budaya luar tanpa proses pertimbangan (valueing).
Kecenderungan itu terjadi karena dia tidak memiliki norma dan nilai budaya
nasionalnya yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan pertimbangan (valueing).
Semakin kuat seseorang memiliki dasar pertimbangan,
semakin kuat pula kecenderungan untuk tumbuh dan berkembang menjadi warga
negara yang baik. Pada titik kulminasinya, norma dan nilai budaya secara
kolektif pada tingkat makro akan menjadi norma dan nilai budaya bangsa. Dengan
demikian, peserta didik akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki
wawasan, cara berpikir, cara bertindak, dan cara menyelesaikan masalah sesuai
dengan norma dan nilai ciri ke-Indonesiaannya. Hal ini sesuai dengan fungsi
utama pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas, “mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa”. Oleh karena itu, aturan dasar yang mengatur
pendidikan nasional (UUD 1945 dan UU Sisdiknas) sudah memberikan landasan
yang kokoh untuk mengembangkan keseluruhan potensi diri seseorang sebagai
anggota masyarakat dan bangsa.
Pendidikan adalah suatu proses enkulturasi, berfungsi
mewariskan nilai-nilai dan prestasi masa lalu ke generasi mendatang. Nilai-nilai
dan prestasi itu merupakan kebanggaan bangsa dan menjadikan bangsa itu dikenal
oleh bangsa-bangsa lain. Selain mewariskan, pendidikan juga memiliki fungsi
untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan prestasi masa lalu itu menjadi
nilai-nilai budaya bangsa yang sesuai dengan kehidupan masa kini dan masa yang
akan datang, serta mengembangkan prestasi baru yang menjadi karakter baru
bangsa. Oleh karena itu, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan inti
dari suatu proses pendidikan.
Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan
dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan yang
terintegrasi disetiap mata pelajaran yang ada di satuan pendidikan sehingga
harus ditegaskan implentasinya dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
selanjutnya dituangkan dalam silabus dan rencana palaksanaan pembelajaran
disetiap mata pelajaran. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan
melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar budaya
dan karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa
pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup
atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan
dalam tujuan pendidikan nasional.
D. Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Fungsi pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- pengembangan: pengembangan
potensi peserta didik untuk menjadi pribadi berperilaku baik; ini bagi
peserta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan
budaya dan karakter bangsa;
- perbaikan: memperkuat kiprah
pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam pengembangan potensi
peserta didik yang lebih bermartabat; dan
- penyaring: untuk menyaring
budaya bangsa sendiri dan budaya bangsa lain yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.
E. Tujuan
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Tujuan
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah:
- mengembangkan potensi
kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang
memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
- mengembangkan kebiasaan dan
perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai
universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
- menanamkan jiwa kepemimpinan
dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
- mengembangkan kemampuan peserta
didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
- mengembangkan lingkungan kehidupan
sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan
persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan
(dignity